Dasar-dasar Akutansi Syariah

BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
Kajian-kajian turats dan ideology Islam, serta penetapan kaidah-kaidah dasar akutansi menurt Islam. Juga, berkaitan dengan studi-studi tentang implementasi ide-ide itu pada zaman modern, terutama di perusahaan atau lembaga-lembaga yang akan menerapkan hukum-hukum Islam dalam transaksinya, seperti bank-bank Islam, perusahaan-perusahaan asuransi Islami, serta lembaga-lemabaga investasi dan permodalan islami.
Kajian ini dimaksudkan untuk mengungkap inti konsep akutansi Islam serta menjelaskan kemampuan dan perannya dalam berbagai krisis yang terus-menerus. Juga, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan akutansi akutansi yang meluas di masyarakat. Dengan kajian ini, terlihatlah bahwa syariat Islam tela mencakup kaidah-kaidah akutansi yang selama ini belum di ketahui oleh pakar akutansi islami.

2.Rumusan Masalah
Dari makalah ini penulis telah menentukan suatu rumusan masalah yang akan dikupas pada bab pembahasan
1)Sifat-sifat kaidah akutansi menurut konsep Islam
2)Perbedaan antara akutansi Islam dan akutansi konvensional
3)Konsep akutansi Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.Sifat-sifat kaidah akutansi menurut konsep Islam
Banyak para akuntan berbeda pendapat tentang apakah ada dasar-dasar pokok akutansi permannen yang bisa dijadikan kerangka dasar konsep akutansi?diantara mereka ada yang berusaha menetapkan sekumpulan peraturan dasar akutansi dengan menggunakan aneka metode, seperti metode penyimpulan, deduktif, dan metode selektif. Tapi sebagian yang lain berpendapat bahwa sangat sulit untuk menetapkan dasar-dasar yang baku bagi akutansi untuk dijadikan sebagai aturan-aturan dan kerangka dari teori akutansi. Perbedaan visi seperti ini masih kuat sampai sekarang. Kita tidak akan membahas perbedaan visi ini tetapi, akan lebih memfokuskan bahasan pada teori Islam mengenai akutansi.
Di sini, kita akan membahas kaidah paling penting bagi akutansi menurut konsep Islam yang sesuai dengan sumber-sumber hukum Islam. Ini dimaksudkan agar kita bisa memaparkan ajaran yang benar bagi para akuntan, sehingga mereka dapat memahami ajaran Islam yang universal.
Diantara kaidah akutansi yang terpenting yang berhasil diistinbathkan dari sumber-sumber hukum Islam, ialah sebagai berikut.
1.Kaidah indenpendensi jaminan keuangan (finansial)
Yang dimaksud dengan kaidah independensi jaminan keuangan ialah perusahaan hendaklah mempunyai sifat yang jelas dan terpisah dari si pemilik perusahaan. Jadi haruslah dipisahkan antara kepemilikan perusahaan dan kepemilikan pribadi si pemilik perusahaan. Di dalam system akutansi positif (konvensional), kaidah sperti ini disebut “kesatuan ekonomi”(al-wihdah al-iqtishadiah).
Dari studi lapangan diketahui bahwa lembaga-lembaga keuangan Islam, perusahaan-perusahaan asuransi, dan perusahaan-perusahaan permodalan dan investasi islami telah menerapkan kaidah independensi jaminan keuangan, bahkan juga indenpendensi bentuk-bentuk partnership.

2.Kaidah kesinambungan aktivitas
Kaidah ini memandang bahwa aktivitas suatu perusahaan itu mesti berkesinambungan. Jarang sekali ada penutupan atau likuidasi atas suatu perusahaan. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga berkesinambungan. Manusia memang akan fana (binasa), tapi Allah akan mewariskan semua yang ada di alam ini. Maka, orang akan yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya akan meneruskan aktivitas itu setelah ia meninggal. Mereka juga yakin bahwa harta yang diperoleh dari aktivitas kerjanya itu adalah milik Allah, seperti firman Allah.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian dari harta yang Allah telah menadikan kamu menguasainya….”(al-Hadid: 7).

3.Kaidah hauliah (pentahunan) anggaran
Secara bahasa, haul berarti satu tahun sempurna, dan bentuk jamaknya (plural) ialah ahwal. Ungkapan “hala ‘alaihi haul” berarti “telah berlalu satu tahun”. Dasar ini adalah firman Allah
“sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan”(at-taubah: 36)
Dalam konteks akutansi Islam, yang dimaksud dengan haul adalah membagi berputarnya perusahaan dalam bebrapa waktu tertentu, yang masing-masing disebut “haul”. Penentuan haul adalah suatu keharusan karena perkembangan harta. Haul juga sangat penting untuk menentukan dan menghitung jumlah zakat mal.
Para ulama telah menerapkan kaidah “haul” untuk persiapan penghitungan akhir bulan dan pusat keunagan perdagangan, dan juga perusahaan-perusahaan untuk penghitungan zakat. Sebagaimana kaidah ini juga telah diterapkan di kantor-kantor pemerintah untuk mengetahui pusat keuangan serta kelebihan dan kelemahan pada anggaran Negara. Kaidah itu juga dipakai sebagai dasar untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran di Negara-negara Islam.

4.Kaidah pembukuan langsung dan lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahun
Kaidah ini menghendaki pembukuan sirkulasi keuangan dan perekonomian di dalam faktur-faktur (surat-surat) satu persatu yang dibubuhi tanggal, hari , bulan, dan tahun. Ini tujuannya untuk bisa mengetahui aktivitas-aktivitas serta pengeluaran informasi-informasi. Kaidah seperti ini telah diterapkan di kantor-kantor pemerintahan pada periode Islam. Dasar kaidah ini adalah firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 282 yang telah kita sebutkan di atas. Kalimat “uktubuhu” menunjukan pengertian pembukuan sedangkan lafal “ila ajalin musamma” menunjukan pada suatu tanggal tertentu, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan Quddamah bin ja’far, “sebenarnya, sirkulasi keuangan baitul mal harus berdasarkan documen-dokumen yang berbentuk surat-surat, buku-buku serta surat obligasi, dan lain-lain. Dokumen-dokumen itu harus ditandai oleh tanda-tanda khusus untuk mengetahui bahwa dokumen-dokumen itu telah ditetapkan dan dicatat dalam buku-buku khusus.

5.Kaidah pembukuan yang disertai penjelasan atau penyaksian objek
Kaidah ini menghendaki pembukuan semua aktivitas ekonomi keuangan surat-surat yang berdasarkan dokumen-dokumen yang mencakup segi bentuk dan isi secara keseluruhan. Dalam fiqih Islam, bentuk ini disebut pencatatan dengan kesaksian.
Kaidah ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an, yaitu firman Allah
واستشهدواشهيدين من رجالكم
Juga, pada ayat yang sama(al-Baqarah 282)
Ayat ini menekankan pada fungsi aspek legalitas religi dari kesaksian dalam pencatatan utang dan piutang. Karena, seorang saksi tidak boleh terlambat atau enggan jika dipanggil untuk memberikan kesaksian karena itu akan menyebabkan mudharat dan kerugian terhadap hak-hak orang lain.
Diantara bentuk dokumen-dokumen penting yang terdapat di baitulmal ialah sebagai berikut.
1.Asy-syahid (keterangan), yaitu suatu dokumen itern yang berfungsi untuk membawa data-data/informasi dari satu tempat ke tempat lain dalam baitulmal.
2.Risalah humul (surat bawaan), yaitu suatu dokumen yang membawa data-data atau informasi dari suatu kantor ke kantor lain.
3.Al-bara-ah (bukti bebas atau lunas), yaitu sebuah dokumen yang diberikan kepada seseorang yang telah membayar atau menyerahkan sesuatu kepada baitulmal, baik berupa uang maupun barang.
Dalam syariat Islam, tidak ada yang melarang penetuan saksi dalam bentuk apa pun juga karena tujuannya ialah untuk memperoleh kepercayaan bahwa transaksi yang terjadi adalah sah, karena tujuannya ialah untuk menjaga hak-hak orang lain.

6.Kaidah pertambahan laba dalam produksi, serta keberadaanya dalam jual beli.
Di dalam fiqih Islam, laba itu dianggap sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul, baik setelah harta itu diubah dari barang menjadi uang maupun belum berubah. Artinya, baik harta itu telah dicairkan (cash) dengan jual beli dari barang ke uang, ataupun belum, maupun harta itu masih tetap dalam bentuk barang karena belum terjadi proses jual beli. Laba atau untung pada harta bisa di dapatkan pada kedua contoh di atas, hanya saja diperlukan proses jual beli untuk memperjelas hakikat laba itu.

7. Kaidah penilaian uang berdasarkan emas dan perak
Kaidah in menunjukkan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengesahkan atau menegaskannya dalam surat-surat berdasarkan kesatuan moneter, yaitu emas dan perak, dengan memposisikan keduannya sebagai nilai terhadap barang-barng serta ukuran untuk penentuan harta dan sekaligus sebagai pusat harga. Di antara ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ini ialah.
“Dan, mereka menjula yusuf dengan harta yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka tidak merasa tertarik hatinya kepada yusuf.”(Yusuf: 20)
Dari ayat ini dipahami bahwa dirham dipakai sebagai nilai bagi Nabi Yusuf. Pada ayat ini.
“Dan, di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepada kamu, dan di antara mereka juga ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadannya satu dinar, tidak dikembalikannya kepada kamu kecuali jika kamu selalu menagihnya..” (Ali Imran: 75).
Di dalam kenyataanya, kita menjumpai bahwa tatkala terpisahnya uang kertasa dari bungkusan emas, mucullah ketimpangan dalam tatanan ekonomi dunia serta timbulnya inflasi. Untuk itu, ulama fiqih memutuskan perlunya menahan uang-uang kertas yang beredar dengan kedua jenis mata uang itu (emas dan perak) untuk mewujudkan kestabilan moneter dan ekonomi. Yang disorot disini ialah mata uang digunakan sebagai pedoman ukuran adalah dasar untuk saling percaya bagi orang-orang yang bertransaksi dan bukan sebagai siasat sebagai mengambil harta orang secra batil.

8.Prinsip penentuan nilai atau harga berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku
Penentuan nilai ditunjukan untuk memberikan batasan dan ukuran terhadap hasil-hasil usaha, dan menjelaskan sentral keuangan untuk proyek-proyek yang kontinu, baik proyek-proyek pribadi maupun perseroan, berdasarkan nilai tukar yang berlaku. Maksudnya, harga jual biasa setelah memisahkan biaya-biaya penjualan, distribusi, dan biaya-biaya transaksi.
Implementasi kaidah ini ialah untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk perusahaan dari segi tingginya volume proses penukaran barnag dan kemampuan barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba.

9.Prinsip perbandingan dalam penentuan laba
Prinsip ini ditunjukan untuk menghitung dan mengukur laba dan rugi pada perusahaan mudharabah yang kontinu, serta penetuan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang menghendaki perbandingan antara biaya-biaya dan uang masuk selama periode waktu yang bisa saja satu tahun atau juga masa keaktifan mudharabah.
Yang dimaksud dengan biaya-biaya di atas ialah pengorbanan financial dalam upaya mencapai atau mendapatkan uang masuk (income). Oleh karena itu, biaya-biaya itu dalam fiqih Islam dapat dibagi sebagai berikut.
1.Biaya yang ada penggantinya (imbalan). Ini disebut biaya biasa.
2.Biaya yang tidak ada penggantinya. Ini disebut kerugian, atau kerusakan.
Yang dimaksud dengan uang masuk di sini ialah harga penjualan selama periode waktu tertentu. Jadi, perbedaan antara biaya dengan uang masuk dianggap sebagai pertumbuhan dan perkembangan, yang mana pertumbuhan ini juga terbagi ke dalam tiga hal berikut.
a. Laba, yaitu bentuk dari perkembangan yang terjadi dari pratik atau aktivitas biasa. Sebab-sebabnya ialah perpindahan atau perputaran, yaitu memperbandingkan laba yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas pokok dengan laba.
b.Ghallah, yaitu yang menunjukkan adanya pertambahan pada barang yang akan dijual (laba marginal). Di dalam teori ekonomi positif, ini di sebut laba barang-barang yang dibeli untuk perdagangan sebelum menjualnya, seperti halnya susu dan bulu domba sebelum menjualnya
c.Faidah, yaitu perkembangan dalam suplai barang yang dimiliki, yang dalam teori akutansi positif disebut keuntungan dari penjualan barang modal (laba mayor).
Jadi, untuk menetukan keuntungan dalam perusahaan mudharabah adalh dengan membandignkan pendapatan-pendapatan dari mudharabah dengan biaya-biayanya, dan kelebihannya adalah laba atau keuntungan yang akan dibagi di antara si pemilik modal dan pekerja.

10.Prinsip muwa’amah (keserasian) antara pernyataan dan kemaslahatan
Teori akutansi Islam menganggap perlu untuk menjelaskan hasil-hasil aktivitas ekonomi, begitu juga senral keuangan untuk kesatuan ekonomi yang ditunjukan untuk para pemiliknya dan pihak-pihak yang berkepentingan, karena ini termasuk hak-hak si pemilik modal, si pekerja, dan pihak yang interaktif di dalamnya serta masyarakat Islam. Contoh ini dapat diterapkan dalam akad-akad kerja sama atau usaha mudharabah ataupun usaha murabahat. Dalam teori akutansi positif (konvensional), kaidah ini disebut prinsip kejelasan.
Berdsarkan keterangan di atas, seorang akuntan muslim harus menjelaskan keterangan-keterangn yang elah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupannya dan situasi serta juga dengan metode yang bisa melindungi kemaslahatna dan tidak memudharatkan. Di sisi lain, seorang akuntan harus konsisten dengan kejujuran dan amanah dalam memaparkan informasi-informasi akunting, dan menghindari pemalsuan atau merahasiakan sesuatu serta berbuat curang atau pemalsuan karena semua itu bukanlah akhlak seorang muslim. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam ayat “kitabah” (perintah pembukuan) tatkala Allah memerintahkan di dalam ayat itu seorang akuntan untuk mencatat secara jujur dan hendaklah ia bertakwa (takut) kepada Allah serta tidak mengurangi sedikit pun penghitungan tersebut, sesuai dengan yang diajarkan Allah dalam firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 282.
B.Perbedaan antara akutansi Islam dan akutansi konvensional
Kaidah-kaidah inilah yang menjadi undang-undang akutansi Islami yang harus dipedimani oleh seorang akuntan untuk mewujudkan tujuan dari aturan-aturan perakuntansian. Ketika membandingkan kaidah ini dengan kaidah akutansi konvensioanl, kita akan mendapatkan beberapa persamaan dan perbedaan. Berikut ini perbandingan antara kedua kaidah itu secara ringkas.

1.Segi persamaan
Konsep akutansi modern mempunyai beberapa kesamaan dengan akutansi Islam pada hal-hal berikut:
a.Perinsip pemisahan jaminan keuangan dengan perinsip unit ekonomi.
b.Perinsip hauliah (penahunan) dengna perinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan.
c.Perinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal.
d.Perinsip kesaksian dalam pembukuan dengan perinsip penentuan barang.
e.Perinsip perbandingan (muqabalah) dengan perinsip perbandingan income dengan cost (biaya).
f.Perinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan.
g.Perinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

2.Segi perbedaan
Diantara segi-segi perbedaan antara kaidah akutansi Islam dan kaidah akutansi Konvensional adalah sebagai berikut;
a.Para ahli akutansi modern berbeda pendapat dalam cara menetukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok. Mereka juga belum menentukan (hingga sekarang) apa yang dimaksud dengan modal pokok (capital atau ra’sul-maal).
b.Modal dalam konsep akutansi konvensioanl terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar). Adapun dalam konsep akutansi Islam, barang-barang pokok itu dibagi menjadi: harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stok). Harta berupa barang pun dibagi menjadi barang milik dan barang dagang. Dari sini jelaslah perbedaan antara keduanya.
c.Menurut konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang-barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalannya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagai sumber harga atau nilai. Inilah salah satu konsep akutansi Islam yang sedang akan dicapai oleh konsep akutansi konvensional.
d.Konsep akutansi konvensional mempraktikkan teori percadangan dan ketelitian dari menaggung semua kerugian dalam perhitungan, serta menyepelekan laba-laba yang masih bersifat mungkin. Adapun konsep Islam sangat memperhatikan hal-hal itu dengan cara penetuan nilai/harga dengan berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan-cadangan untuk kemungkinan-kemungkinan bahaya dan resiko.
e.Konsep akutansi konvensioanl menerapka perinsip laba universal, yang mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang-uang haram lainnya.adapun dalam konsep Islam dibedakan antara laba yang berasal dari capital (modal pokok) serta transaksi.
f.Konsep konvensional menrapkan perinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu aka nada ketika adanya perkembangan da pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba dan laba itu tidak boleh dibagi kecuali setelah nyata laba itu diperoleh.

C.Konsep akutansi Islam
Akutansi sebenarnya merupakan domain “muamalah” dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun karena pentingnya permasalahan maka Allah swt, bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Qur’an, Al-Baqarah ayat 282. Penempatan ini juga unik dan relevan dengan sifat akutansi itu. Ia ditempatkan dalam surat ke-2 yang dapat dianalogkan dengan “double entry”, ditempatkan di ayat 282 yang menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.
Bahkan jika dikaji system jagad dan manajemen alam ini ternyata peran atau fungsi akutansi sangat besar. Allah memiliki akuntan malaikat yang sangat canggih yaitu Rakib dan Atib, malaikat yang menuliskan/menjurnal transaksi yang dilakukan manusia, yang menghasilkan buku/neraca yang nanti aka dilaporkan kepada kita (owner) di akhirat.
Karena akutansi ini sifatnya urusan muamalah maka pengembanganya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Al-Qur’an dan sunnah hanya membekalinya dengan beberapa system nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, keadilan, kejujuran, terpercaya, bertanggung jawab, dan sebagainya.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah kita melihat bahwa tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan adalah:
•Menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah) yang menjadikan dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya.
•Menjaga agar tidak manipulasi, atau penipuan baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba).
1.Profesi akutansi
Akutansi adalah suatu profesi yang kedudukannya dapat disamakan dengan ahli hukum atau insinyur. Kemajuan yang cepat dalam teori dan tehnik- tehnik selama abd terakhir di ikuti dengan makin banyaknya akuntan-akutan professional yang terlatih. Factor yang menunjang pertumbuhan ini adalah bertanbahnya jumlah, ukuran dan kompleksitas perusahaan; berlakunya system perpajakan baru yang makin rumit dan ketentuan-ketentuan lain yang dikenakan terhadap kegiatan perusahaan oleh pemerintah.
•Akuntan Publik atau yang terkadang disebut akuntan ekstern adalah akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya berdasarkan suatu pembayaran tertentu.
•Akuntan menajemen atau yang disebut juga sebagai akuntan intern adalah akuntan yang bekerja untuk suatu perusahaan atau organisasi. Akuntan manajemen bertanggung jawab kepada pimpinan perusahaan dan dapat menduduki jabatan sebagai staf akutansi, kepala bagian akutansi, kontroler atau bahkan direktur keuangan.
•Akuntan pemerintah bekerja kepada lembaga-lembaga pemerintah seperti DAN (Direktorat Akuntan Negara), BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan), dan departemen-departemen pemerintah.
•Akuntan pendidik adalah akuntan yang terutama berkecimpung dalam bidang pendidikan akutansi yaitu mengajar, menyusun kurikulum pendidikan akutansi dan mengadakan penelitian dan pengembangan dalam bidang akutansi.

2.Teori akutansi Islam
Dari keterangan di atas tak dapat kita bantah lagi keberadaan akutansi Islam itu. Permsalahan berikutnya adalah bagaimana dan apa akutansi Islam itu?untuk menjawab ini memang masih sulit apalagi dalam kesempatan, keahlian dan tenaga yang terbatas. Sedangkan kerangka teori akutansi kapitalis saja memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun sehingga sampai pada kerangka konseptual akutansi dan itu dilakukan tidak kurang dari 5 studi dan bebrapa kali perbaikan.
Kalau kita inggin mendapatkan konsep akutansi Islam maka sesuai dengan model colonial sebagaimana dikemukakan oleh Gambling dan karim maka mestinya konsep akutansi Islam itu lahir dari:

MASYARAKAT ISLAM

EKONOMI ISLAM


TEORI AKUTANSI ISLAM

PRATEK AKUTANSI ISLAM

Gambar 10.2 : Struktur akutansi Islam




Dari sisi lain akutansi Islam itu dapat kita gambarkan sebagai berikut:
Lembaga perusahaan individu

Melakukan kegiatan muamalah
(bisnis) harus sesuai syariat

Kegiatan dicatat (accounting)

Input transaksi
Proses pembukuan
Output laporan

Prinsip-prinsip akutansi
+
Penekanan pada
Keadilan
Kebenaran
Penegakaan syariat Allah

Gambar 10.3 : konsep akutansi Islam
Yang kita alami saat ini adalah system kapitalis dengan struktur sebagai berikut:
Masyarakat kapitalis

Ideology kapitalis

Ekonomi kapitalis

Teori akutansi kapitalis

Pratek akutansi kapitalis

Gambar 10.4 : Struktur akutansi kapitalis
Dan ternyata kenyataan sekarang tidak ada konsep yang murni 100% sesuai dengan konsep asalnya. Tidak ada konsep ekonomi kapitalis murni. Bahkan menurut peter drucker dalam bukunya post capitalist society (1994) dikemukakannya bahwa masyarakat pasca kapitalis ini mirip sebagaimana yang dibayangkan pemikir sosialis dahulu.
Yang terjadi adalah ekonomi campuran sehingga system ekonomi dan akutansinya pun adalah campuran, sebagaimana dalam gambar sebagai berikut:

MASYARAKAT CAMPURAN

EKONOMI CAMPURAN


TEORI AKUTANSI CAMPURAN

PRATEK AKUTANSI CAMPURAN

Gambar 10.5 : kondisi praktek & teori akutansi sekarang
Dalam suasana seperti ini maka upaya yang harus kita lakukakn adalah bagaiamana system campuran itu dijernihkan atau di “purify”. Dihilangkan yang tidak sesuai dengan konsep Islam dan ditambah dengan konsep yang wdiwajibkan Islam. Dalam konsep kapitalis banyak yang dapat dipakai dalam konsep Islam dan ada yang memang tidak sesuai dengan syariat Islam. Dipotong yang tidak sesuai dan dicangkok yang perlu ditambah.
• Konseptual itu dapat dilihat sebagai berikut.
Konsep & system akutansi

system ekonomi


System social

ideologi

gambar 10.6 struktur dan sumber konsep akutansi
Dengan mencoba menjadikan gambar diatas itu sebagai dasar maka kami kira konsep dasar akutansi Islam itu sebagai berikut:
Konsep dasar tidak banyak yang berbeda kecuali dua hal:
1.Sumber hukumnya adalah Allah melalui instrument Al-Qur’an dan sunnah. Sumber hukum ini harus menjadi pagar pengaman dari setiap postulat, konsep, prinsip, dan teknik akutansi.
2.Penekanan pada “accoutibility”, kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
3.Permasalahan di luar itu diserahkan sepenuhnya kepada akal pikiran manusia termasuk untuk kepentingan “decision usefulness”.
Keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Allah

Qur’an & Hadis

Informasi
Dan
tanggung jawab

Postulat konsep

Prinsip dasar


Prinsip akutansi (teknik)

Gambar 10.7 hipotesis struktur teori akutansi Islam

BAB III
KESIMPULAN

A.Sifat-sifat kaidah akutansi menurut konsep Islam
Banyak para akuntan berbeda pendapat tentang apakah ada dasar-dasar pokok akutansi permannen yang bisa dijadikan kerangka dasar konsep akutansi?diantara mereka ada yang berusaha menetapkan sekumpulan peraturan dasar akutansi dengan menggunakan aneka metode, seperti metode penyimpulan, deduktif, dan metode selektif. Tapi sebagian yang lain berpendapat bahwa sangat sulit untuk menetapkan dasar-dasar yang baku bagi akutansi untuk dijadikan sebagai aturan-aturan dan kerangka dari teori akutansi. Perbedaan visi seperti ini masih kuat sampai sekarang. Perbedaan visi seperti ini masih kuat sampai sekarang.
Diantara kaidah akutansi yang terpenting yang berhasil diistinbathkan dari sumber-sumber hukum Islam, ialah sebagai berikut.
1.Kaidah indenpendensi jaminan keuangan (finansial)
2.Kaidah kesinambungan aktivitas
3.Kaidah hauliah (pentahunan) anggaran
4.Kaidah pembukuan langsung dan lengkap dengan tanggal, bulan, dan tahun
5.Kaidah pembukuan yang disertai penjelasan atau penyaksian objek
6.Kaidah pertambahan laba dalam produksi, serta keberadaanya dalam jual beli.
7.Kaidah penilaian uang berdasarkan emas dan perak
8.Prinsip penentuan nilai atau harga berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku
9.Prinsip perbandingan dalam penentuan laba
10.Prinsip muwa’amah (keserasian) antara pernyataan dan kemaslahatan
B.Perbedaan antara akutansi Islam dan akutansi konvensional
Kaidah-kaidah inilah yang menjadi undang-undang akutansi Islami yang harus dipedimani oleh seorang akuntan untuk mewujudkan tujuan dari aturan-aturan perakuntansian. Ketika membandingkan kaidah ini dengan kaidah akutansi konvensioanl, kita akan mendapatkan beberapa persamaan dan perbedaan. Berikut ini perbandingan antara kedua kaidah itu secara ringkas.

1.Segi persamaan
Konsep akutansi modern mempunyai beberapa kesamaan dengan akutansi Islam pada hal-hal berikut:
a.Perinsip pemisahan jaminan keuangan dengan perinsip unit ekonomi.
b.Perinsip hauliah (penahunan) dengna perinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan.
c.Perinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal.
2.Segi perbedaan
Diantara segi-segi perbedaan antara kaidah akutansi Islam dan kaidah akutansi Konvensional adalah sebagai berikut;
a.Para ahli akutansi modern berbeda pendapat dalam cara menetukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok. Mereka juga belum menentukan (hingga sekarang) apa yang dimaksud dengan modal pokok (capital atau ra’sul-maal).
b.Modal dalam konsep akutansi konvensioanl terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar). Adapun dalam konsep akutansi Islam, barang-barang pokok itu dibagi menjadi: harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stok). Harta berupa barang pun dibagi menjadi barang milik dan barang dagang. Dari sini jelaslah perbedaan antara keduanya.

C.Konsep akutansi Islam
Akutansi sebenarnya merupakan domain “muamalah” dalam kajian Islam. Artinya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun karena pentingnya permasalahan maka Allah swt, bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Qur’an, Al-Baqarah ayat 282. Penempatan ini juga unik dan relevan dengan sifat akutansi itu. Ia ditempatkan dalam surat ke-2 yang dapat dianalogkan dengan “double entry”, ditempatkan di ayat 282 yang menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.



DAFTAR PUSTAKA

1.C. Rollin Niswonger & Philip E. Fess, 1992, Dasar-Dasar Akutansi Edisi Revisi 1, Jakarta; PT Rineka Cipta, hal 11- 12
2.Husein Syahatah, 2001, Pokok-Pokok Pikiran Akutansi Islam, Jakarta; Akbar Media Eka Sarana
3.Muhammad Mursya Lasyin, Op.cit., bab 1, pelajaran III
4.Sofyan Syafri Harahap, 2001, Akutansi Islam, Jakarta; PT Bumi Aksara

0 Response to "Dasar-dasar Akutansi Syariah"

Post a Comment

Please give comment. Thanks