Revisi UU KPK

Revisi UU KPK; Antara Penguatan dan Pelemahan


Oleh: Marlaf Sucipto

Revisi atas Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 20 tahun 2002 sudah mengemuka sejak lima tahun lalu. Era saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih berkuasa. Isu lama ini kini bergulir kembali. Bahkan, rencana revisi ini, pada tahun 2015 telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas. Cuma, tetap tarik ulur. Karena gelombang politik di parlemen, yang kontra terhadap rencana revisi UU ini masih kuat. Hal ini juga, ditopang oleh opini publik yang turut menolak untuk tidak dilakukan revisi. Kini, yang pro untuk dilakukan revisi, justru dimotori oleh partai politik yang mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Jokowi dalam salah satu agenda program prioritasnya yang fenomenal dengan istilah Nawa Cita, dalam poin empat menyebutkan: “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”, kerap dijadikan landasan oleh pihak yang pro maupun yang kontra untuk memperkuat sudut pandangnya masing-masing. Dalam pergolakan wacana yang cukup panjang dan melelahkan, revisi ini kini telah tergantung kehendak Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden.

Revisi UU KPK

Inilah draft revisi UU KPK yang memicu kontroversi, yang disebarkan di Badan Legislasi Nasional: pertama, dibentuknya dewan pengawas. Kedua, proses penyitaan harus mendapatkan restu dewan pengawas. Ketiga, penyadapan yang akan dilaksanakan oleh KPK harus mendapatkan persetujuan dewan pengawas. Keempat, KPK tak boleh merekrut penyidik secara independen. Para penyidik di KPK harus tetap di-support dari kepolisian dan kejaksaan. Kelima, KPK harus meminta izin jika mau melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain. Keenam, KPK boleh mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana institusi kepolisian dan kejaksaan. Ketujuh, masa kerja KPK cukup 12 tahun. Kedelapan, KPK tidak boleh melakukan penuntutan. Kesembilan, KPK hanya boleh menangani perkara di atas 50 milyar dari yang awalnya minimal sebesar 1 milyar.

Kesembilan di atas, berdasarkan penelusuran, pengamatan, dan penghayatan penulis, bisa melemahkan, bisa pula menguatkan. Mengapa?

Pertama, terkait dewan pengawas. Selama ini, KPK bergerak tanpa pengawasan siapa dan lembaga mana pun. Bila ini dibiarkan, menurut penulis, KPK memiliki celah untuk disalahgunakan. Memang, proses penentuan komisioner KPK telah melalui jalur yang cukup ketat dan professional. Tidak sebagaimana lembaga lain yang sudah menjadi rahasia umum pola penentuannya kerap monopolistik dan kolutif. Pula, selama ini KPK memang prestatif, tapi sama-sama tidak ada yang tahu apakah ke depan akan terus berprestasi. Mengingat, orang-orang ‘baik’ yang progresif di KPK banyak tumbang sebab dikriminalisasi.

Pengawas KPK, niscaya adanya. Cuma, mereka-mereka yang akan ditunjuk sebagai pengawas harus orang-orang yang proses penentuannya tidak berdasarkan penunjukan. Tapi berdasarkan seleksi ketat sebagaimana penentuan komisioner KPK. Orang-orang yang terpilih sebagai pengawas ini integritas dan kapasitas keilmuannya harus tidak kalah baik ketimbang komisioner KPK. Bila perlu, standart-nya harus lebih tinggi dan lebih baik. Mereka-mereka ini, juga harus terdiri dari orang-orang yang memiliki konsentrasi keilmuan yang beragam.

Jika pengawas KPK lahir dari proses seleksi yang ketat, soal teknis penyelidikan seperti penyadapan, penyitaan, pemeriksaan kepada kepala daerah, menteri, dan pejabat lain, masyarakat, utamanya pihak yang kontra atas rencana revisi UU ini, penulis yakin, akan turut sepakat walaupun terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dewan pengawas. Mereka menolak karena dewan pengawas ini khawatir diisi oleh mafia yang pro terhadap para koruptor. Apalagi proses penentuannya berdasarkan penunjukan, bukan seleksi terbuka.

Kedua, KPK tidak diperkenankan merekrut penyediknya secara independen, penyidik di KPK harus tetap di-support dari kepolisian dan kejaksaan. Draft ini, menurut penulis, berisi sentimen akibat konflik kelembagaan “cicak vs buaya” yang pernah terjadi tak hanya sekali. Isi draft ini menjadi positif saat maksudnya adalah untuk memaksimalkan peran dan fungsi penyidik di kepolisian dan kejaksaan. Walaupun, lembaga kepolisian dan kejaksaan tetap tak bisa ditepis saat akan melakukan rekrutment kepegawaian masih tercitra sebagaimana institusi pada umumnya; penuh praktik korupsi, kolusi, dan nepotis’m. Penolakan atas isi draft ini bukan karena kualitas penyidik dari kepolisian dan kejaksaan jelek, tapi kejadian yang pernah terjadi saat “cicak vs buaya” memanas, pihak kepolisian yang menarik secara sepihak atas penyidiknya yang ditugaskan di KPK, khawatir terulang kembali. Itulah yang kemudian melahirkan opini publik agar sebaiknya KPK merekrut penyidiknya secara independen. Kita tahu, bahwa pejabat di kepolisian dan kejaksaan sampai kini penentuannya masih menggunakan pola penunjukan. Bukan seleksi terbuka sebagaimana terjadi atas lembaga antirasuah ini.

Sinergi penegakan hukum antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan, salah satunya, akan bisa lebih baik jika pola penentuan pejabat di kepolisian dan kejaksaan mau ditentukan sebagaimana pola penentuan pimpinan KPK. Bila perlu, juga harus bersifat kolektif kolegial.

Ketiga, SP3 menjadi polemik, karena selama ini karap lahir akibat pefukatan buruk antara penegak hukum dan pelanggar undang-undang. Di sisi lain memang, KPK saat mentersangkakan selalu tuntas sampai penuntutan di lembaga peradilan. Gerakan penolakan menjadi masif saat kepolisian mentersangkakan para komisioner KPK hanya berdasarkan pelanggaran “kecil” yang kini kasusnya “digantung”. Inilah yang semakin memperkuat persepsi publik bahwa komisioner KPK itu adalah korban kriminalisasi. Bukan pelanggaran “berat” sebagaimana kerap dilakukan oleh oknum kepolisian dan kejaksaan. Dalam hal ini, bukan SP3-nya yang bermasalah, tapi lembaga yang berwenang mengeluarkan SP3 dalam persepsi publik citranya masih buruk.

Keempat, masa kerja KPK cukup 12 tahun. Memang, KPK adalah lembaga ad hoc; sementara. Dibentuk karena darurat. Cuma, korupsi yang sudah menjangkiti republik sejak pra kemerdekaan ini masak iya hanya bisa dituntaskan selama dalam kurun 12 tahun?. Bila memang bisa, seperti apa argumentasi pembuat draft ini. Biar juga bisa diuji oleh publik! Menurut penulis, masa kerja KPK dapat dicukupkan jika prilaku korup telah benar-benar hilang dari benak dan alam bawah sadar bangsa Indonesia. Itu pun standart-nya harus jelas.
Kelima, KPK tidak diperkenakan melakukan penuntutan. Isi draft ini turut memperkuat kesan bahwa KPK sudah di-by design melalui jalur yang sah untuk dihancurkan. Mengapa?, karena selama ini, penuntutan yang dilakukan oleh KPK terkawal dengan baik sampai tuntas. Sedangkan penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan, kerap masih penuh dengan stigma “jual-beli” tuntutan sampai putusan di pengadilan.

Keenam, KPK baru bisa menangani terduga korupsi di atas 50 milyar sebagaimana isi draft revisi UU KPK 2016, telah turut memperkuat asumsi publik bahwa perumus draft ini adalah orang-orang yang pro terhadap para koruptor. Korupsi di bawah 50 milyar seakan mendapatkan pengampunan. Karena walaupun diusut, yang mengusut cukup kepolisian dan kejaksaan. Kita tahu bagaimana track record lembaga kepolisian dan kejaksaan?! Segala kasus masih ada peluang untuk dinegoisasikan.

Dari sekian wacana yang berkembang, berdasarkan pengamatan dan permenungan penulis, tolak revisi UU KPK yang kini getol disuarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), akademisi seperti Prof. Dr. Saldi Isra, Prof. Dr. Rhenald Kasali, P.hD., J. Kristiadi, dan masyarakat yang turut peduli atas pemberantasan korupsi, layak diperkuat dengan turut bersama mereka, bergabung dalam barisan: Tolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Allahu A’lam
*Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 19 Februari 2016, di Angkringan 57 Surabaya, jam 19:30 Wib.

0 Response to "Revisi UU KPK"

Post a Comment

Please give comment. Thanks